Kamis, 10 November 2011

Mitos 11-11-11dan Hari Pahlawan

.Keunikan tanggal 11-11-11 ini selain nomor cantik (karena terdiri dari deretan angka 1), juga dipermasalahkan dengan mitos-mitos tertentu. Lantas apa yang spesial di tanggal 11-11-11 ini? Mari kita simak analisa dari pakar Numerologist.
Pada abad pertengahan, numerologists percaya semua nomor memiliki arti, baik arti positif maupun negatif kecuali untuk angka 11. Dalam kata-kata seorang sarjana abad ke-16, Petrus Bungus, angka 11 tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang istimewa atau mistis (divine things). Karena angka 11 terjebak antara nomor 10 & 12 yang diyakini sebagai angka istimewa.
“Dengannya angka 11 adalah bermakna kejahatan murni (pure evil), & mewakili orang-orang berdosa. Artinya, bukan pertanda baik untuk 11 November 2011, tanggal ketika tiga 11 akan menyelaraskan untuk pertama kalinya dalam satu abad”, kata Bungus.
Berkaitan dengan pendapat Numerologist tersebut, saat ini ada sebuah film horor yang baru berjudul “11-11-11,”. Mengisahkan cerita menakutkan yang akan terjadi pada tanggal ini. Karakter film ini menyebutnya dengan istilah “fenomena 11:11,” kecenderungan untuk melihat jam lebih sering di 11:11 dibandingkan pada waktu hari yang lain. Pada hari kesebelas dari bulan kesebelas tahun kesebelas, gerbang gelap (neraka) akan terbuka & darah tak berdosa akan tumpah.
Fenomena 11:11 ini memang banyak dibincangkan dalam kehidupan nyata, banyak forum diskusi online yang mencari tahu apa arti dari nomor ini. Orang mengatakan mereka merasa dihantui dari 11′s, yang tampaknya menakutkan untuk mereka. Ada juga yang memaknainya sebagai tanggal yang tampak menyenangkan.
Di sisi lain, beberapa modern numerologists menganggap 11/11/11 menguntungkan, & menurut sumber-sumber berita lokal di seluruh negeri, banyak pasangan telah merencanakan untuk menikah pada hari ini. Di Indonesia saja, hari ini di Jakarta akan ada 1000 pasangan yang akan menikah



 HARI PAHLAWAN



Hampir saban 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah.
Sebagaimana laiknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.
Lebih dari itu, refleksi ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang go global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.
Memang secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!
Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
Hal inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.
Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.